Berikut penjelasan atas tiga pertanyaan tersebut berdasarkan kasus Andi di Kampung Y:
1. Pengertian Cakap dan Dewasa dalam Konteks Hukum Adat
Cakap dalam hukum adat berarti seseorang telah dianggap mampu melakukan tindakan hukum, seperti membuat perjanjian, menerima warisan, atau mengelola harta, berdasarkan norma dan nilai adat setempat, bukan berdasarkan usia kronologis semata.
Dewasa menurut hukum adat sering kali ditentukan melalui upacara adat atau ritus peralihan (rite of passage), yang menandai peralihan dari masa anak-anak ke dewasa. Upacara ini menandakan bahwa individu telah dianggap bertanggung jawab secara sosial dan hukum dalam komunitas adat.
Pengaruh terhadap hak dan kewajiban:
Hak: Seseorang yang telah dianggap cakap dan dewasa dapat memiliki harta adat, ikut dalam musyawarah adat, dan membuat keputusan hukum atas nama dirinya.
Kewajiban: Ia juga berkewajiban menjalankan norma adat, membayar denda adat jika melanggar, dan bertanggung jawab atas tindakannya di mata hukum adat.
2. Analisis Konflik: Perbedaan Definisi Cakap dan Dewasa antara Hukum Adat dan Hukum Nasional
Hukum Nasional (seperti KUHPerdata) menyatakan seseorang baru cakap hukum pada usia 18 tahun. Oleh karena itu, meskipun menurut hukum adat Andi telah dewasa dan berhak atas tanah warisan, pengadilan nasional dapat menganggapnya belum cakap hukum, sehingga keputusannya atas harta warisan dapat dibatalkan atau dianggap tidak sah.
Konflik hukum muncul karena:
Dualisme sistem hukum: Indonesia menganut pluralisme hukum (nasional dan adat), tetapi sistem nasional lebih dominan dalam forum resmi.
Perbedaan tolak ukur: Hukum nasional memakai ukuran umur; hukum adat memakai ukuran sosial-budaya.
Kepastian hukum vs keadilan komunitas: Hukum nasional mengejar keseragaman, sedangkan hukum adat mengutamakan keadilan berbasis nilai lokal.
Akibatnya, hak Andi diakui oleh masyarakatnya, namun tidak diakui secara sah oleh negara.
3. Peran Tokoh Adat dan Mekanisme Penentuan Cakap-Dewasa dalam Hukum Adat
Tokoh adat seperti kepala adat, tetua adat, atau lembaga adat, berperan sebagai otoritas yang:
Menilai kesiapan sosial dan moral seseorang.
Menyelenggarakan upacara kedewasaan (misalnya sunatan, potong gigi, ritual inisiasi).
Memberikan pengesahan bahwa seseorang telah dewasa secara adat.
Mekanisme penentuan:
Ritus inisiasi/adat: Menandai transisi usia atau peran sosial.
Pertimbangan kolektif tokoh adat: Didasarkan pada pengamatan, perilaku, dan kesiapan individu.
Pengesahan dalam musyawarah adat: Disahkan secara kolektif di depan komunitas.
Implikasinya:
Sosial: Individu diberi peran penting (misalnya jadi kepala keluarga, bisa nikah, dll).
Hukum adat: Dianggap mampu mengurus harta warisan, membuat keputusan hukum, atau menghadapi sanksi adat.
Namun, implikasi di luar komunitas (misalnya di pengadilan negara) bisa tidak diakui, menimbulkan ketimpangan dan diskriminasi terhadap sistem hukum adat.