Rasul dipilih dari kalangan manusia biasa karena manusia adalah makhluk yang ditugaskan untuk menerima, memahami, dan menjalankan perintah Allah di muka bumi. Jika Allah mengutus malaikat sebagai rasul, maka manusia tidak akan mampu meniru atau mengambil teladan dari mereka, karena malaikat bukan makhluk yang memiliki hawa nafsu, keterbatasan fisik, atau kehidupan sosial seperti manusia.
Allah SWT berfirman dalam Al-Qur’an Surah Al-An'am ayat 9:
"Dan jika Kami jadikan seorang malaikat (sebagai rasul), tentulah Kami jadikan dia (berupa) seorang laki-laki (juga), dan benar-benar Kami buat mereka ragu sebagaimana mereka (kini) ragu."
Ayat ini menunjukkan bahwa rasul harus dapat berinteraksi secara nyata dan masuk akal dalam kehidupan manusia.
Manusia akan lebih mudah menerima ajaran jika yang menyampaikannya adalah sosok yang mengalami kehidupan serupa—berkeluarga, berdagang, menghadapi masalah sosial, dan sebagainya. Rasul yang berasal dari manusia bisa menjadi teladan nyata dalam mengaplikasikan ajaran Islam. Misalnya, Rasulullah Muhammad SAW adalah pemimpin, suami, ayah, dan juga tetangga yang mencontohkan langsung akhlak dan syariat Islam dalam keseharian.
Selain itu, keberadaan rasul dari kalangan manusia memperkuat aspek uji keimanan. Orang-orang yang beriman akan mampu menerima risalah meskipun disampaikan oleh manusia biasa. Ini menjadi bukti keikhlasan dan ketundukan mereka kepada Allah SWT, bukan semata karena kekuatan gaib atau penampakan luar biasa.
Oleh karena itu, pemilihan rasul dari kalangan manusia adalah bentuk keadilan dan kebijaksanaan Allah dalam menyampaikan wahyu-Nya secara rasional dan bisa diteladani.