Bolehkah Jaksa Penuntut Umum Menuntut Bebas Seorang Terdakwa?
Dalam praktik peradilan pidana di Indonesia, sangat jarang dijumpai Jaksa Penuntut Umum (JPU) mengajukan tuntutan bebas terhadap seorang terdakwa, meskipun dalam persidangan terbukti bahwa unsur-unsur tindak pidana yang didakwakan tidak terpenuhi. Fenomena ini menimbulkan pertanyaan penting dalam penegakan hukum: apakah JPU boleh menuntut bebas terdakwa, dan apa dasar hukum serta konsekuensinya?
Kewenangan dan Tanggung Jawab Jaksa
Jaksa Penuntut Umum memiliki kewenangan dan tanggung jawab utama dalam proses penuntutan pidana. Hal ini diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP), khususnya Pasal 1 angka 6 dan Pasal 14 huruf b, yang menyatakan bahwa JPU berwenang untuk melimpahkan perkara pidana ke pengadilan dan menuntut sesuai dengan fakta yang terungkap di persidangan.
Prinsip utama dalam proses penuntutan adalah "objektivitas" sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 8 ayat (3) huruf b Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia (yang telah diperbarui dengan UU No. 11 Tahun 2021), yang menyebutkan bahwa jaksa dalam melaksanakan tugas penuntutan harus bersikap objektif, artinya tidak hanya memberatkan tetapi juga meringankan terdakwa.
Dasar Hukum Jaksa Menuntut Bebas
Seorang jaksa diperbolehkan secara hukum menuntut bebas terdakwa jika berdasarkan fakta persidangan, terbukti bahwa unsur-unsur tindak pidana yang didakwakan tidak terpenuhi. Hal ini sesuai dengan asas “in dubio pro reo” (jika ada keraguan, maka harus diputuskan demi kepentingan terdakwa) dan prinsip keadilan substantif.
Yurisprudensi Mahkamah Agung dan doktrin hukum juga mendukung bahwa jaksa tidak hanya berperan sebagai pihak yang membuktikan kesalahan terdakwa, tetapi juga sebagai penegak hukum yang menjunjung tinggi keadilan. Dengan demikian, jika dalam proses persidangan terbukti bahwa terdakwa tidak bersalah, jaksa secara profesional dan etis justru wajib menuntut bebas, bukan sekadar mengejar vonis bersalah demi mempertahankan posisi institusional.
Kekhawatiran Akan Eksaminasi
Memang benar bahwa jaksa seringkali khawatir akan dieksaminasi atau dianggap tidak profesional jika menuntut bebas, terutama dalam sistem birokrasi yang menekankan pada "output" berupa vonis bersalah. Namun, ketakutan ini tidak seharusnya menjadi alasan untuk mengorbankan keadilan. Eksaminasi seharusnya dilakukan untuk mengevaluasi objektivitas dan profesionalisme jaksa, bukan untuk menghukum sikap hukum yang jujur dan sesuai fakta.
Penutup
Jaksa boleh dan seharusnya menuntut bebas terdakwa jika fakta hukum dalam persidangan menunjukkan bahwa unsur dakwaan tidak terbukti. Hal ini tidak hanya sesuai dengan asas hukum acara pidana yang adil dan objektif, tetapi juga mencerminkan integritas profesional seorang jaksa. Penegakan hukum yang adil menuntut keberanian moral dan intelektual untuk tidak sekadar memenjarakan orang, melainkan menjunjung tinggi kebenaran.
Pertanyaannya kini bukan apakah jaksa boleh menuntut bebas, tetapi apakah sistem kita cukup mendukung keberanian itu?